Semiotik
secara etimologi berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Secara
terminologi semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang tandatanda. Ilmu
ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
bentuk dari tanda- tanda. Semiotik juga mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tandatanda tersebut memiliki
arti.
Pengertian
di atas sejalan dengan apa yang dekemukakan oleh Ferdinand de Saussure yang
mendefinisikan semiotika (semiologi) sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit dari pengertian ini
menunjukkan relasi bahwa bila tanda adalah bagian kehidupan sosial, maka tanda
merupakan bagian dari aturan-aturan yang berlaku (kode).
Ada system tanda (sign system) dan
social system yang saling berkaitan, inilah yang disebut sebagai konvensi
sosial (social convention) yang mengatur tanda secara sosial, yaitu pemilihan,
pengkombinasian dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia
mempunyai makna dan nilai sosial.
- C.S Peirce
Semiotik
bagi Peirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (Influence), atau kerja
sama tiga subjek yaitu tanda (sign), objek (object) dan interpretan
(interpretant). Yang dimaksud pada semiotika pada semiotika Peirce bukan subjek
manusia, tetapi tiga entitas semiotik yang sifatnya abstrak yang tidak
dipengaruhi oleh kebiasaan komunikasi secara kongkrit.
Menurut Peirce
tanda adalah … some thing wich stands to some body for some thing in some
respect or capacity (tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk
menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas). Dalam hal ini
tanda menurut Peirce menggunakan model triadic (representament + object +
interpretant = sign) Contoh misalnya kita melihat tanda gambar bibir yang merah
basah dan setengah terbuka (sexy lips) maka akan tebentuk proses tiga tingkatan
(threefold process) di antaragambar bibir sebagai representamen, bibir
sebenarnya sebagai objek,dan interpretan (bibir) yang dikenal sebagai proses
semiosis
- Ferdinand De Saussure
Menurut
Saussure tanda mempunyai dua entitas, yaitu signifier dan signified atau wahana
tanda dan makna atau penanda dan petanda (signifier+signified= sign). coba
perhatikan karya berikut: apa yang dapat kita tangkap dari gambar (penanda)
hati (heart) yang memiliki petanda sebagai cinta ( love), dan
sebagainya.
Dalam
berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek
dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure
disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan
interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure
memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan
dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier)
dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified).
Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak
dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas”.
- Roland Barthes
Teori ini
dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes
mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi
dan konotasi.
Denotasi adalah tingkat pertandaan
yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna
eksplisit, langsung, dan pasti.
Konotasi adalah tingkat pertandaan
yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna
yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
Roland
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan
makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran
tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan
kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang
dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan
“order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes
melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.
“Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda
baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi,
ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi
makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang
rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian
para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi
umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang
keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada
pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya
dianggap sebagai sebuah Mitos.
Secara
ringkas teori dari Barthes ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya
dalam dua tahap.Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada
(1) penanda dan (2) petandanya.Tahap ini lebih melihat tanda secara denotatif.
Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa
ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif.
Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan
tersebut.Dalam contoh di atas, pada tahap I, tanda berupa BUNGA MAWAR ini baru
dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum mawar pada satu
tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi petanda mereka
akan mekar bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan
pijakan untuk masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa
bunga mawar yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah
dalam budaya kita, bunga adalah lambang cinta?Atas dasar ini, kita dapat
sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat
cimta itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa. Makna
denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada sebuah mitos,
bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.
Tipe - Tipe Tanda
- Ikon
Sesuatu
yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya.
Didalam ikon hubungan antara penanda dan petanda nya memiliki kesamaan dalam
beberapa kualitas. Suatu peta atau lukisan bisa dikatakan sebagai ikon karena
memiliki kemiripan rupa dengan objeknya. Contoh lain adalah rambu-rambu lalu
lintas seperti “awas, banyak anak-anak!” ,”rambu2 lampu lalu-lintas” semua itu
memiliki kemiripan visual atau bisa juga disebut ”meniru” dengan objeknya.
- Indeks
Merupakan
tanda yang memiliki keterikatan eksistensi terhadap petandanya atau objeknya
atausesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan
penandanya
Di dalam indeks, hubungan antara
penanda dengan petandanya bersifat nyata dan aktual. Misalnya bau kentut
pertanda ada orang yang baru saja kentut di tempat itu, tanda panah menunjukkan
kanan dibawahnya bertuliskan “SOLO 20 KM” adalah indeks bahwa ke kanan 20
kilometer lagi adalah kota Solo, begitu juga dengan tombol-tombol atau link
dalam situs web merupakan indeks untuk menuju halaman web yang dimaksud.
- Simbol
Merupakan
tanda yang bersifat konvensional. Tanda-tanda linguistik umumnya merupakan
simbol. Jadi simbol adalah suatu tanda yang sudah ada aturan atau kesepakatan
yang dipatuhi bersama, simbol ini tidak bersifat global, karena setiap daerah
memiliki simbol-simbol tersendiri seperti adat istiadat daerah yang satu belum
tentu sama dengan adat-istiadat daerah yang lainnya. Simbol palang putih dengan
latar belakang merah sudah disepakati secara internasional bahwa tanda itu
berarti “stop” atau larangan masuk.
Sistem Semiotika
Sistem semiotika dibedakan dalam
tiga komponen sistem.
- Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotik
Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya,
dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek.
Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh
arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan
bangunan.Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan
perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil
karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya,
hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai
dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya
arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
- Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotik
Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya
ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini
mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan.Dalam
arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur
sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur
akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya,
hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
- Semiotik Semantik (semiotic semantic)
Semiotik
Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang
disampaikan.Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang
sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan.Hasil karya
arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya
yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai
kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu
rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin
disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima
secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan
perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.